Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang
menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan
selanjutnya. Usia dini merupakan kesempatan emas bagi anak untuk belajar. Oleh
karena itu kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk proses
belajar anak. Rasa ingin tahu pada anak usia dini berada pada posisi puncak
khususunya usia 3-4 tahun, hal ini perlu mendapat perhatian bahwa belajar anak
usia dini bukan berorientasi untuk mengejar prestasi seperti kemampuan membaca,
menulis, berhitung, dan penguasaan pengetahuan lainnya yang bersifat akademis,
tapi orientasi belajarnya adalah mengembangkan sikap dan minat belajar serta berbagai
potensi dan kemampuan dasar.
Pembelajaran bagi anak usia dini yang menjadi
kontroversi selama ini adalah berkaitan dengan cara menyampaikan materi
pembelajaran pada anak usia dini. Menurut Bruner dalam Arsyad (1997: 7) menyatakan
bahwa ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enactive),
pengalaman pictorial/gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (symbolic).
Pengalaman langsung (enactive) adalah mengerjakan, misalnya arti kata ‘simpul’
dipahami dengan langsung membuat ‘simpul’. Pada tingkatan kedua yang diberilabel
iconic (artinya gambar atau image), kata ‘simpul’ dipelajari dari gambar,
lukisan, foto, atau film. Meskipun siswa belum pernah mengikat tali untuk
membuat ‘simpul’ mereka dapat mempelajari dan memahami dari gambar, lukisan,
foto, atau film. Selanjutnya pada tingkatan ketiga adalah symbolic, siswa
membaca (atau mendengar) kata ‘simpul’ dan mencoba mencocokannya dengan
‘simpul’ pada image mental atau mencocokannya dengan pengalamannya membuat
‘simpul’. Ketiga tingkat pengalaman ini saling berinteraksi dalam upaya
memperoleh ‘pengalaman’ (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang baru.
Jerome Bruner yang dikutip oleh Dedi Supriadi (2002: 40), menyatakan bahwa
‘setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara
yang sesuai dengan perkembangannya’. Kuncinya adalah pada permainan atau
bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pembelajaran pada pendidikan
anak usia dini, bermain sebagai media sekaligus substansi pendidikan itu
sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan melalui bermain
yang melibatkan seluruh indera anak. Bruner & Donalson menemukan
bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak
yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain.
Cara belajar anak usia dini mengalami perkembangan
seiring dengan bertambahnya usia anak. Bermain dinilai oleh Spock, Rothenberg
dan Bruner dalam Jurnal Ilmiah PAUD sebagai suatu cara bagi anak-anak untuk
meniru perilaku orang dewasa dan berusaha untuk menguasai kemampuan tersebut
agar mencapai kematangan.
Anak-anak belajar berbicara dengan cara berinteraksi
dengan lingkungannya, selain itu lingkungan memberikan pelajaran terhadap
tingkah laku dan ekspresi serta penambahan perbendaharaan kata. Berbicara
secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian idea tau gagasan, pikiran
kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut
dapat dipahami orang lain. Tarigan (1981: 15) menyatakan bahwa berbicara
adalah” kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk
mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan”.
Untuk mengembangkan penguasaan kosa kata anak usia dini
tidak dapat dilepaskan dengan penentuan kosa kata apa saja yang sesuai dengan
anak usia dini itu sendiri, untuk itu perlu perlu diuraikan mengenai kata-kata
yang relevan dan sesuai untuk anak usia dini, uraian kosa kata terkait erat
dengan jenis kata. Jenis kata menurut pendapat Keraf dalam Suhartono (2005:
194) yaitu kata-kata bahasa Indonesia dibagi menjadi empat jenis, yaitu kata
benda, kata kerja, kata sifat, dan kata tugas. Sedangkan menurut Dhieni at al
(2007: 9.6–9.7) memperkaya kosa kata yang diperlukan untuk berkomunikasi
sehari-hari meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan
waktu.