Rofe'i,S.Pd.
Menurut Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan proses berpikir kreatifnya. Sementara menurut McGregor (2007), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat pula dilakukan dengan mendasarkan pada apa yang dikomunikasikan siswa, secara verbal maupun tertulis. Apa yang dikomunikasikan siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas, penyelesaian masalah, atau jawaban lisan siswa terhadap pertanyaan
guru.
Menurut Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan proses berpikir kreatifnya. Sementara menurut McGregor (2007), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat pula dilakukan dengan mendasarkan pada apa yang dikomunikasikan siswa, secara verbal maupun tertulis. Apa yang dikomunikasikan siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas, penyelesaian masalah, atau jawaban lisan siswa terhadap pertanyaan
guru.
Beberapa ahli telah mengembangkan instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, seperti Balka dan Torrance (Silver, 1997). Balka mengembangkan instrumen Creative Ability Mathematical Test (CAMT) dan Torrance mengembangkan instrumen Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT). Kedua instrumen ini berupa tugas membuat soal matematika berdasarkan informasi yang terdapat pada soal terkait situasi sehari-hari yang diberikan. Jensen (Park, 2004) mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis dengan memberikan tugas membuat sejumlah pertanyaan atau pernyataan berdasarkan informasi pada soal-soal yang diberikan. Soal-soal yang diberikan tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau diagram.
Cara atau metode pengukuran kemampuan berpikir kreatif matematis yang digunakan Balka, Torrance, dan Jensen di atas sering disebut tugas problem posing atau problem finding atau production divergen. Tes ini mengukur tiga aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, dan kebaruan. Aspek kelancaran berkaitan dengan banyaknya pertanyaan relevan. Aspek keluwesan berkaitan dengan banyaknya ragam atau jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan berkaitan dengan keunikan atau seberapa jarang suatu jenis pertanyaan.
Getzles dan Jackson (Silver, 1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem). Menurut Becker dan Shimada (Livne, 2008), soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam jawab. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, dan kebaruan, dan keterincian. Kelancaran berkaitan dengan banyaknya solusi. Keluwesan berkaitan dengan ragam ide. Kebaruan berkaitan dengan keunikan jawaban siswa. Sedangkan aspek keterincian berkaitan keterincian dan keruntutan jawaban.
Dalam tulisan ini, aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian. Aspek kelancaran meliputi kemampuan (1) menyelesaikan masalah dan memberikan banyak jawaban terhadap masalah tersebut; atau (2) memberikan banyak contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. Aspek keluwesan meliputi kemampuan (1) menggunakan beragam strategi penyelesaian masalah; atau (2) memberikan beragam contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. Aspek kebaruan meliputi kemampuan (1) menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa untuk menyelesaikan masalah; atau (2) memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa. Aspek keterincian meliputi kemampuan menjelaskan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu. Penjelasan ini menggunakan konsep, representasi, istilah, atau notasi matematis yang sesuai.
Cara atau metode pengukuran kemampuan berpikir kreatif matematis yang digunakan Balka, Torrance, dan Jensen di atas sering disebut tugas problem posing atau problem finding atau production divergen. Tes ini mengukur tiga aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu kelancaran, keluwesan, dan kebaruan. Aspek kelancaran berkaitan dengan banyaknya pertanyaan relevan. Aspek keluwesan berkaitan dengan banyaknya ragam atau jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan berkaitan dengan keunikan atau seberapa jarang suatu jenis pertanyaan.
Getzles dan Jackson (Silver, 1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem). Menurut Becker dan Shimada (Livne, 2008), soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam jawab. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, dan kebaruan, dan keterincian. Kelancaran berkaitan dengan banyaknya solusi. Keluwesan berkaitan dengan ragam ide. Kebaruan berkaitan dengan keunikan jawaban siswa. Sedangkan aspek keterincian berkaitan keterincian dan keruntutan jawaban.
Dalam tulisan ini, aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian. Aspek kelancaran meliputi kemampuan (1) menyelesaikan masalah dan memberikan banyak jawaban terhadap masalah tersebut; atau (2) memberikan banyak contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. Aspek keluwesan meliputi kemampuan (1) menggunakan beragam strategi penyelesaian masalah; atau (2) memberikan beragam contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. Aspek kebaruan meliputi kemampuan (1) menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa untuk menyelesaikan masalah; atau (2) memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa. Aspek keterincian meliputi kemampuan menjelaskan secara terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu. Penjelasan ini menggunakan konsep, representasi, istilah, atau notasi matematis yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar