TERMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA KEBLOG SAYA TOLONG SARANYA ATAS BOLG INI

Kamis, 15 Maret 2012

MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS

Rofe'i,S.Pd.

         Menurut Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan   proses  berpikir  kreatifnya.   Sementara  menurut  McGregor (2007), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat pula dilakukan dengan mendasarkan  pada  apa  yang  dikomunikasikan   siswa,  secara  verbal  maupun tertulis. Apa yang dikomunikasikan siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas, penyelesaian masalah, atau jawaban lisan siswa terhadap pertanyaan
guru.
       Beberapa  ahli  telah  mengembangkan  instrumen  untuk  mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis, seperti Balka dan Torrance (Silver, 1997). Balka mengembangkan  instrumen  Creative  Ability Mathematical  Test (CAMT) dan Torrance  mengembangkan  instrumen  Torrance  Tests of Creative  Thinking (TTCT). Kedua instrumen ini berupa tugas membuat soal matematika berdasarkan informasi  yang  terdapat  pada  soal  terkait  situasi  sehari-hari  yang  diberikan. Jensen (Park, 2004) mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis dengan memberikan tugas membuat sejumlah pertanyaan atau pernyataan berdasarkan informasi  pada  soal-soal  yang  diberikan.   Soal-soal   yang  diberikan  tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau diagram.
      Cara atau metode pengukuran kemampuan berpikir kreatif matematis yang digunakan  Balka,  Torrance,  dan  Jensen  di  atas  sering  disebut  tugas  problem posing  atau  problem  finding  atau  production  divergen.  Tes  ini mengukur  tiga aspek kemampuan  berpikir  kreatif matematis,  yaitu kelancaran,  keluwesan,  dan kebaruan.  Aspek  kelancaran  berkaitan  dengan  banyaknya  pertanyaan  relevan. Aspek keluwesan berkaitan dengan banyaknya ragam atau jenis pertanyaan. Sedangkan aspek kebaruan berkaitan dengan keunikan atau seberapa jarang suatu jenis pertanyaan.
        Getzles   dan   Jackson   (Silver,   1997)   mengemukakan   cara   lain   untuk mengukur  kemampuan  berpikir  kreatif  matematis,  yakni  dengan  soal  terbuka (open-ended problem). Menurut Becker dan Shimada (Livne, 2008), soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang memiliki beragam jawab. Dalam hal ini, aspek-aspek   yang  diukur  adalah  kelancaran,   keluwesan,  dan  kebaruan,  dan keterincian. Kelancaran berkaitan dengan banyaknya solusi. Keluwesan berkaitan dengan   ragam   ide.   Kebaruan   berkaitan   dengan   keunikan   jawaban   siswa. Sedangkan aspek keterincian berkaitan keterincian dan keruntutan jawaban.
     Dalam tulisan ini, aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis yang diukur   adalah   kelancaran,    keluwesan,    kebaruan,    dan   keterincian.   Aspek kelancaran meliputi kemampuan (1) menyelesaikan masalah dan memberikan banyak jawaban terhadap masalah tersebut; atau (2) memberikan banyak contoh atau pernyataan terkait konsep atau situasi matematis tertentu. Aspek keluwesan meliputi kemampuan  (1) menggunakan  beragam  strategi penyelesaian  masalah; atau (2) memberikan beragam contoh atau  pernyataan terkait konsep atau situasi matematis  tertentu.  Aspek  kebaruan  meliputi  kemampuan  (1)  menggunakan strategi yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa untuk menyelesaikan masalah; atau (2) memberikan contoh atau pernyataan yang bersifat baru, unik, atau tidak biasa.  Aspek  keterincian  meliputi  kemampuan  menjelaskan  secara  terperinci, runtut, dan koheren terhadap prosedur matematis, jawaban, atau situasi matematis tertentu.  Penjelasan  ini menggunakan  konsep,  representasi,  istilah,  atau  notasi matematis yang sesuai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar