Berikut teori
belajar mengajar matematika menurut beberapa tokoh:
1.
Gagne
Menurut Gagne belajar merupakan
seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan melewati
pengelolaan informasi, dan menjadi kapabilitas baru.[1]
Menurut Gagne belajar matematika ada
2 objek yang dapat diperoleh siswa, obyek langsung yang meliputi fakta,
ketrampilan, konsep dan aturan (principle)
dan dan obyek tak langsung yang meliputi kemampuan menyelidiki dan memecahkan
masalah, mandiri (belajar, bekerja, dan
lain-lain), bersikap positif terhadap matematika, tahu bagaimana semestinya
belajar.[2]
Menurut Gagne pengajaran matematika
akan lebih relevan apabila disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Adapun tipe
belajar siswa menurut Gagne meliputi depalan tipe belajar yaitu :
a.
Belajar
Signal (signal learning). Belajar
sesuatu yang tidak disengaja sebagai akibat dari suatu rangsangan yang dapat
menimbulakan realisasi emosional kita disebabakan karena perasaan kita terkena.[3]
b.
Belajar
Stimulus Respon (S-R Learning). Belajar
dimana aspek (konseptual) mulai
berfungsi, gerakan motoris merupakan
komponen penting dalam respon itu. Dengan belajar stimulus respons ini
seseorang belajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. [4]
c.
Belajar
merangkai tingkah laku (chaining). Jenis belajar ini menunjukkan adanya dua atau
lebih S-R yang digabungkan bersama. Misalnya : ketrampilan membagi suatu sudut
menjadi dua bagian yang sama dengan menggunakan penggaris dan jangka.[5]
d.
Belajar asosiasi verbal (verbal chaining). Perbuatan lisan
terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon. Dalam matematika tipe belajar ini ialah :
menyatakan atau mengemukakan pendapat tentang konsep, simbol, definisi,
aksioma, dalil dll. [6]
e.
Belajar Diskriminasi (descrimination learning). Tipe belajar
yang menghasilkan kemampuan membeda-bedakan berbagai gejala. Contoh dalam
matematika : pada segitiga siku-siku sudut yang paling besar adalah sudut
siku-siku dan sisi miringnya adalah sisi terpanjang, pada segitiga lancip semua
sudutnya lancip dan tidak usah ada sisi yang terpanjang, pada segitiga tumpul
sebuah sudutnya lebih besar dari 900 dan sisi yang di depan sudut
tumpul itu berupa sisi terpanjang.[7]
f.
Belajar konsep (concept learning). Belajar yang dilakukan dengan menentukan
ciri-ciri yang khas yang ada dan memberikan sifat tertentu pula pada berbagai
objek. Misalnya : untuk pemahaman konsep garis (garis lurus) siswa mengamati sisi meja, garis pertemuan dua dinding
dari ruang kelas, seutas tali yang direntangkan dengan kuat, horison. Ia
membedakan dengan lengkungan lain, ruas garis, sinar, dll.[8]
g.
Pembentukan aturan (rule learning). Belajar ini terjadi
dengan cara mengumpulkan sejumlah sifat kejadian yang kemudian tersusun dalam
macam-macam aturan. Misalnya : seseorang mungkin mampu menyebutkan aturan (rumus) Phytagoras dalam segitiga
siku-siku (c2 = a2 + b2), tetapi tidak mampu
mengaplikasikannya.
h.
Pemecahan masalah (problem solving). Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang
lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks daripada pembentukan aturan.
Menerapkan rumus (c2 = a2 + b2), untuk
segitiga siku-siku adalah belajar pembentukan aturan, tetapi ini bukan tipe
pemecahan masalah.
2.
Teori Jerome. S.Bruner.
Jerome
Bruner berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep – konsep
dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam kelas, materi yang
dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika itu[9].
Bruner melukiskan bahwa siswa berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental
yaitu :
a. Tahap Enactiv, dalam tahap ini
siswa di dalam belajarnya menggunakan/memanipulasi obyek-obyek secara langsung.
b.
Tahap Ikonic, dalam tahap ini anak
tidak memanipulasi langsung obyek-obyek melainkan sudah dapat memanipulasi
dengan menggunakan gambaran dari obyek.
c.
Tahap Simbolik, dalam tahap ini
siswa sudah dapat memanipulasi simbul-simbul secara langsung dan tidak lagi ada
kaitannnya dengan obyek-obyek.
Sebagai
contoh penerapan dari Teori Bruner adalah dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal, jika mula-mula
siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya
menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya
kelereng semuanya). Kemudian dilanjutakan dengan menggunakan gambar atau
diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut. Pada
tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan
menggunakan lambang-lambang, yaitu : 3 + 2 = 5.
3.
Teori
Van Hiele
Van hiele berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para
siswa mengalami perkembangan kemampuan berfikir dengan melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut [10]:
a.
Tahap
pertama, Visualisasi (Pengenalan). Pada tahap ini
siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri, seperti segitiga, kubus, bola,
lingkaran dan lain. Tetapi ia belum bisa memahami
sifat-sifatnya.
b.
Tahap
kedua, Analisis (Analisa). Pada tahap
ini siswa sudah dapat memahami sifat-sifat konsep atau bentuk geometri.
Misalnya siswa mengetahui dan mengenal bahwa sisi persegi panjang yang
berhadapan itu sama panjang, bahwa panjang kedua diagonalnya sama panjang dan
memotong satu sama lain sama panjang.
c.
Tahap
ketiga, Abstraksi (Pengurutan). Pada
tahap ini siswa sudah mengenal bentuk-bentuk geometri dan memahami
sifat-sifatnya juga, ia sudah bisa mengurutkan bentuk-bentuk geometri yang satu
sama lain saling berhubungan.
d.
Tahap
keempat, Deduksi. Pada tahap ini siswa sudah memahami peranan pengertian–pengertian
pangkat, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan teorema-teorema geometri.
e.
Tahap
kelima, Rigor (kaakuratan). Pada
tahap ini siswa sudah dapat memahami bahwa adanya ketepatan dari apa-apa yang
mendasar itu penting. Misalnya : ketepatan dari aksioma-aksioma yang
menyebabkan terjadi geometri dari Euclid.
[2] Russefendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
Dalam pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung : Tarsito,
1988) hal. 165
[3] Ibid, hal. 165
[4] Saiful Sagala, Konsep ......... hal. 20
[5] Herman Hudoyo, Strategi Mengajar…….. hal. 26
[6] Russefendi, Pengantar ………hal. 167
[7] Ibid, hal. 168
[8] Ibid, hal. 168
[9] Ibid, hal. 48
[10] Rusefendi, Pengantar Kepada Membantu Guru……. Hal. 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar